Apakah di Korea Utara Umat Beragama Boleh Bebas Beribadah ?
Berdasarkan "logika umum", yang mendasarkan diri pada propaganda media bahwa Korea Utara sebagai sebuah negara komunis maka akan anti agama sehingga kehidupan beragama disana sulit atau bahkan ditindas. Pendapat semacam ini biasanya hanya didasarkan pada opini reporter tanpa ada dukungan data ataupun studi yang mendasarkan diri pada penelitian. Pendapat semacam inilah yang langsung ditelan begitu saja tanpa pikir oleh sebagian masyarakat kita.
Jawaban atas pertanyaan diatas didasarkan pada beberapa studi oleh para ilmuwan sosial Amerika Serikat yang mendalami kehidupan beragama di Korea (lihat daftar sumber). Dengan demikian, jawaban ini memberikan gambaran yang sangat berbeda dengan "logika umum" tersebut diatas.
Namun justru dengan demikian memberikan gambaran kepada kita sebuah kehidupan kongkrit dari masyarakat Korea Utara, tanpa adanya bumbu-bumbu ideologi dan propaganda, yang merusak gambaran yang sebenarnya.
Perkembangan Agama di Korea Utara
Buddhisme telah berkembang di semenanjung Korea, sejak masa dinasti Goguryeo (337 SM - 668 M). Di Korea, Buddhisme berkembang dengan mengambil bentuk yang kontekstual Korea sehingga menjadi Budhisme Korea yang unik. Kemudian di masa dinasti Goryeo (918 - 1392), Budhisme berkembang jauh lebih pesat lagi bahkan menjadi kekuatan politik yang sangat berperan.
Sedangkan Konfusianisme baru mulai berkembang di Korea dipertengahan masa dinasti Goryeo. Kemudian menjadi ideologi negara di masa dinasti Joseon yang didirikan oleh jendral Yi Seong-gye dalam bulan Juli 1392.
Masih dimasa dinasti Joseon, agama Katolik masuk Korea yaitu pada tahun 1603, pada saat Yi Gwang-jeong, salah seorang keluarga kerajaan kembali dari Tiongkok dan membawa buku-buku Katolik yang ditulis oleh Matteo Ricci, seorang Italia, Missionaris Jesuit yang tinggal di Beijing. Yi Gwang-jeong pun mulai mendirikan komunitas pengikut Katolik di Pyong-yang
Namun baru di tahun 1785, yaitu pada saat Yi Seung Hun juga anggota keluarga kerajaan, yang menjadi pastor Katolik di Pyong-yang, agama Katolik berkembang pesat. Oleh karena Yi Seung-hun secara resmi mengundang para rohaniwan Katolik dari Perancis dan Tiongkok untuk mengembangkan agama Katolik di Korea.
Sejak itu berbagai missionaris Barat pun berdatangan ke Pyong-yang, baik Katolik maupun Protestan. Mereka membangun sekolah, rumah sakit dan percetakan. Pyong-yang pun menjadi pusat kekristenan di Asia Timur dan disebut sebagai, "Jerusalem of the East".
Maraknya gerakan kekristenan ini memicu bangkitnya gerakan reformasi agama tradisional Korea yaitu Chondoisme. Chondoisme berakar pada gerakan keagamaan Donghak yang didirikan oleh Ch'oe Che-u kemudian di modernkan oleh Son Pyŏng-Hi sehingga Chondoisme menjadi sebuah gerakan keagamaan yang modern di Korea.
Patung Son Pyong-Hi
Jika kekristenan populer di lingkungan keluarga kerajaan, para pedagang kaya serta kaum terpelajar. Chondoisme jauh lebih populer dikalangan rakyat jelata dan merupakan revivalisme dari semangat kerakyatan Korea.
Memasuki abad ke 20, partai Buruh Korea dibawah Kim Il-Sung bangkit dan memimpin Korea Utara. Dengan membentuk koalisi nasional Front Demokratik Korea Bersatu (mirip United Front di Tiongkok atau Barisan Nasional di Malaysia) yang terdiri dari 3 partai yaitu partai Buruh Korea, partai Sosial Demokratik Korea dan partai Chondoist. Oleh karena partai Buruh yang terbesar maka otomatis, partai Buruh dan Kim Il-Sung mengendalikan politik Korea Utara.
Dengan bangkitnya, kekuatan politik Kim Il-Sung dan pecahnya perang Korea. Masyarakat Kristen pun berbondong-bondong pindah ke Korea Selatan.
Kehidupan Beragama di Korea Utara
Berdasarkan Konstitusi Republik Demokratik Korea Utara tiap warga negara dilindungi kebebasannya untuk beragama. Lihat, Artikel 14, yaitu, "Citizens of the Democratic People's Republic of Korea shall have the freedom of religious belief and of conducting religious services".
Namun juga kebebasan untuk tidak beragama juga dilindungi Konstitusi, lihat Artikel 54 yang menyatakan bahwa, "Citizens of the Democratic People's Republic of Korea have religious liberty and the freedom to oppose religion." Dengan adanya 2 pasal tersebut nampak jelas bahwa Korea Utara menempuh bentuk negara sekuler, yang melindungi kebebasan beragama namun juga melindungi kebebasan untuk tidak beragama.
Berdasarkan data, Korea Utara jauh lebih mirip tetangganya di Utara, Tiongkok, dimana mayoritas penduduknya, 64.3%, non-religius (tidak beragama). Sangat jauh berbeda dengan tetangganya di Selatan, Korea Selatan, dimana 70% penduduknya religius (beragama), yang terdiri para pengikut Buddha dan Kristen.
Lalu bagaimana dalam praktek, apakah terbukti ada kebebasan beragama? Mari kita lihat satu demi satu.
Pertama. Hadirnya pejabat-pejabat tinggi di pemerintahan yang beragama. Sebagai contoh, Kang Yang Wook, seorang Protestan anggota gereja Presbiterian yang menjabat wakil presiden Korea Utara. Juga, Kim Chang Jun, seorang anggota gereja Methodist yang menjadi salah satu Ketua Supreme People Assembly (Parlemen).
Mari, kita lihat para pengikut agama minoritas, yaitu, Buddha, Kristen dan Islam.
Kedua. Komunitas Buddha di Korea Utara. Berdasarkan data tahun 2018 ada sekitar 400 tempat ibadah Buddha tersebar di Korea Utara dengan jumlah pengikut sekitar 1, 500, 000 pengikut.
Ketiga. Komunitas Kristen di Korea Utara. Data terakhir yaitu tahun 2018 menunjukkan ada sekitar 200 gedung gereja tersebar di Korea Utara dengan jumlah pengikut sekitar 500,000 pengikut. Hari Natal juga telah ditetapkan sebagai hari libur resmi secara nasional.
Berbeda dengan Tiongkok yang menolak Katolik Roma, Vatikan. Korea Utara justru lebih terbuka dan bisa menerima kehadiran Keuskupan Katolik Roma yang menginduk Vatikan. Tahun 2018, Kim Jong-Un secara resmi mengundang Pope Francis untuk berkunjung ke Korea Utara.
Changchun Cathedral, Kantor Keuskupan Pyong-yang
Gereja Life-Giving Trinity, Gereja Orthodox Russia, di Pyong-yang
Beberapa jemaat, foto bersama Patriakh Gereja
Suasana Ibadah di gereja Protestan Bongsu di Pyong-yang
Gedung Gereja Methodist, Pyong-yang
Paduan Suara Gereja
Ditingkat Internasional masyarakat beragama Kristen di Korea Utara diwakili oleh Korean Christian Federation yang memiliki hubungan kerjasama yang cukup luas.
Misalnya saja, the Mennonite Central Committee, American Friend Service Committee, Eugene Bell Foundation dan World Vision International. Seluruh organisasi tsb berkantor di Pyong-yang untuk menangani proyek-proyeknya di Korea Utara.
Keempat. Komunitas Islam di Korea Utara. Berdasarkan data Pew Research Centre tahun 2019 komunitas Islam di Korea Utara ada sekitar 3000 orang.
Mesjid Ar-Rahman, Pyong-yang
Merayakan Iedul-fitri di Korea Utara
Suasana Sehabis Ibadah Jumat
Sekalipun dibawah rezim politik Korea Utara, kehidupan beragama dilindungi konstitusi dan berfungsi baik di Korea Utara.
----------------------------------------------------------------
sources of information and images:
- Alton, David. 2013. Building Bridges: Is There Hope for North Korea?. Lion Hudson.
- Baker, Donald L. 2008. Korean Spirituality. University of Hawaii Press.
- Choi, Joon-sik. 2006. Folk-Religion: The Customs in Korea. Ewha Womans University Press.
- Corfield, Justin. 2013. Historical Dictionary of Pyongyang. Anthem Press.
- Grayson, James H. 2002. Korea – A Religious History. Routledge.
- Lee, Chi-ran. Chief Director, Haedong Younghan Academy.
- Lee, Jung Young.1981. Korean Shamanistic Rituals. Mouton De Gruyter.
- Lee, Sang Taek.1996. Religion and Social Formation in Korea: Minjung and Millenarianism. Walter de Gruyter & Co.
- Park, Young. 2009. Korea and the Imperialists: In Search of a National Identity. Author House, 2009.
- Min, Pyong Gap. 2014. Development of Protestantism in South Korea: Positive and Negative Element.On: Asian American Theological Forum (AATF) , VOL. 1 NO. 3, ISSN 2374-8133
0 Response to "Apakah di Korea Utara Umat Beragama Boleh Bebas Beribadah ?"
Post a Comment