Widget Bawah Header

WELCOME TO MY BLOG
🟦🟦 Manusia hanya mempunyai dua cara untuk belajar: satu dengan membaca dan satunya lagi berkumpul dengan orang-orang yang lebih pintar. (Will Rogers) 🟦🟦

KENAPA dr.Terawan DIPECAT DARI IDI?

Foto: Prof Dr dr.Terawan Agus Putranto

Salah seorang quorawan asal Yogyakarta, Han Prasetya memberikan pendapatnya pada forum quora, yang membahas mengenai kenapa dr.Terawan bisa sampai dipecat dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI)?....

Biasanya, kasus Prof Dr dr.Terawan Agus Putranto, yang pernah menjabat sebagai menteri kesehatan RI era pemerintahan Presiden Joko Widodo ini dibahas dari beberapa sudut pandang yang berbeda, yang diantaranya;

1. Politik, seperti pro atau kontra dengan pemerintah

2. Chauvinisme/anti-chauvinisme, yaitu rasa cinta sangat tinggi pada negara, tokoh negara, atau unsur dari negara (chauvinisme) atau kebalikannya yaitu membenci apapun yang berhubungan dengan negara (anti-chauvinisme)

3. Agama, misalnya tuduhan bahwa ketua IDI berasal dari kelompok tertentu yang berseberangan dengan pihak dr.Terawan

Maka saya akan bahas dari sudut pandang sains, termasuk metodologi penelitian ilmiah, terkait kasus dr.Terawan.

Awal Mula

Sejauh yang saya tahu, kasus dr.Terawan Agus Putranto berawal dari sekitar tahun 2016-2018an yang secara umum dikenal dengan nama "cuci otak".

Atau secara ilmiah bernama Intra Arterian Heparin Flushing (IAHF). Percobaan ini sejatinya sudah dilakukan dr. Terawan di RSPAD Gatot Subroto sejak sekitar tahun 2011 pada sekitar 75 pasien yang mengalami penyakit stroke.

Lalu dr.Terawan melanjutkan studi di Universitas Hasanuddin dengan desertasinya yang berjudul "Effect of Intra Arterian Heparin Flushing (IAHF) Against Cerebral Blood Flow, Motor Evoked Potentials, and Motor Function in Chronic Ischemic Stroke". Ya tentang cuci otak tadi. Dr. Terawan lulus menjadi doktor pada tahun 2016 (ini doktor S3, ya! Bukan titel dokter yang satunya. Meski kuliahnya ya di bidang kedokteran) bermodalkan terapi "cuci otak" tadi. Dokter yang doktor.

Baca Juga: IRONI TENAGA KEPERAWATAN DI JEPANG

Pada umumnya, masyarakat hanya mengikuti kasus dr.Terawan ini lewat media yang diliput wartawan yang biasanya bukan berbasis pendidikan kedokteran, sehingga sangat mungkin ada "pergeseran persepsi". Saya yakin, sebagian besar masyarakat Indonesia pasti belum membaca desertasi dr.Terawan yang tebalnya sekitar 135 halaman itu. Atau minimal baca jurnalnya yang saya lampirkan screenshootnya ini:

Jurnalnya bisa dicari dan dibaca selengkapnya di internet.

Kecuali wartawannya adalah dr.Tirta Mandira Hudhi yang punya basis pendidikan kedokteran, sehingga memperkecil kemungkinan "salah persepsi".

Penelitian IAHF Dr.Terawan

Saya akan jelaskan penelitian dr.Terawan lewat analogi sederhana, ya!

Sederhananya, penyakit stroke itu terjadi akibat pembuluh darah tersumbat, menyempit, kaku, atau semacamnya. Jika di ibaratkan, pembuluh darah itu seperti selang air lama yang sudah kaku dan banyak endapan lumut keraknya. Akibatnya, aliran air di selang nggak lancar, mampet, atau menumpuk. Salah-salah selangnya jadi pecah karena tekanan air.

Biasanya, dokter mengupayakan gimana selang itu bisa kembali lentur (dan sukur-sukur bersih). Cuma, caranya dokter ini biasanya lama dan biayanya mahal. Apesnya para pasien nggak tertolong.

Dr.Terawan menggunakan metode yang baru, seperti layaknya orang lain, ujung selangnya dipanaskan pake korek sehingga ujung selangnya menjadi lentur.

Lalu, selang disuntikkan air khusus yang bisa melarutkan lumut-lumut kerak di dalam selang. Sehingga selang kembali bersih dan air (darah) kembali mengalir lancar. Jadi yang dilakukan dr.Terawan lebih cepat terlihat hasilnya dan lebih murah.

Begitulah gambaran sederhananya

Masalah Penelitian Dr.Terawan

Dr.Terawan mendasarkan penelitiannya dari penelitian Jessica H. Lewis di tahun 1964. Kenyataannya, penelitian Lewis dilakukan secara in vitro. Sedangkan dr.Terawan langsung in vivo.


Sederhananya, in vitro itu dilakukan di luar tubuh, di dalam cawan, dan di dalam laboratorium. Apes-apesnya, kalau ada kesalahan, nggak merugikan atau malah membunuh. Kalau secara in vitro berhasil, percobaan baru dicoba secara in vivo, yaitu di dalam tubuh makhluk hidup (biasanya dimulai dari hewan kecil seperti tikus), lalu dilihat hasilnya, apakah sama berhasilnya saat percobaan in vitro atau tidak.

Masalah lainnya, Lewis mencobakan hasil penelitiannya pada anjing. Fatalnya, dr.Terawan tidak menyebut hal itu dalam desertasinya, sehingga seolah-olah penelitian Lewis telah diuji coba pada manusia.

Masalah lain dr.Terawan memberi perlakuan pada pasien kronis (penderita lama atau sakitnya sudah dalam waktu yang lama), didasarkan pada penelitian sebelumnya seperti Yucheng (1995), Schllinger (2001), Font (2010), atau Copen (2012). Padahal, penelitian yang dikutipnya ditujukan untuk pasien akut (penderita baru atau sakitnya baru saja terjadi atau terjadi baru beberapa jam).

Dan sederet permasalahan lain, yang memang bermasalah dalam dunia ilmiah. Termasuk diantaranya percobaan yang dilakukan sebelum tahun 2013 saat Dr.Terawan mendaftar kuliah S3 yang berarti penelitiannya itu terhitung ilegal.

Ribetnya Dunia Ilmiah

Normalnya, hasil penelitian dr.Terawan sangat mungkin akan digunakan dalam skala yang lebih luas, bahkan mungkin ditiru oleh dokter-dokter lain di Indonésia atau bahkan di seluruh dunia.

Sayangnya hasil penelitian, atau obat dalam dunia kedokteran, secara ilmiah, walau sudah diteliti, nggak bisa langsung digunakan secara massal sesederhana itu.

Baca Juga: Ternyata Belanda Punya Kebiasaan Unik Juga Lho, Inilah Fakta Unik Yang Bikin Kita Geleng-Geleng Kepala

Saya ambil contoh Vaksin Covid-19, entah itu Astra Zaneca, Sinovac, Pfizer, atau apapun namanya. Saat Covid terjadi tanggal 1. Bisa jadi vaksinnya sudah diteliti di laboratorium tanggal 7. Apa langsung disebar atau diproduksi massal?...

Tidak semudah itu, kawan!

Vaksin harus dicoba pada skala kecil, misalnya kepada beberapa relawan. Kalau berhasil, kemudian diuji dokter lain pada kelompok-kelompok tertentu, lalu diuji ke masyarakat terbatas, lalu diuji pada beragam ras manusia, diuji pada kondisi geografis atau iklim yang berbeda, dan seterusnya. Biasanya dikenal dengan istilah Uji Klinis.

Belum lagi, data penelitiannya harus diuji oleh berbagai peneliti, dokter, dan pihak lain. Datanya bener nggak, ada kesalahan nggak, ada yang dipalsukan nggak, dan seterusnya.

Sehingga vaksin-vaksin itu baru bisa diproduksi massal untuk masyarakat berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun kemudian.

KENAPA?

Ya buat memastikan penelitian dan vaksinnya betul-betul aman secara global, dengan kemungkinan terburuk seminimal mungkin (misalnya ada penerima vaksin yang demam beberapa hari, tangannya pegel, dan lain-lain).

Paling tidak, agar tidak mengulang sejarah. Obat ataupun terapi yang dulunya dianggap aman, tapi sekarang malah dianggap berbahaya. Misalnya saja Heroin, yang pada tahun 1900-an dijadikan sebagai obat batuk anak-anak.

Itulah dunia ilmiah, memang terasa sangat rigid, ribet, menyusahkan, demi mendapatkan pengakuan bahwa penelitian, obat, atau terapi, betul-betul benar dan bisa dibuktikan.


"Tapi kan…tapi kan…ada testimoni dari pasien kalau katanya mereka badannya jadi enak. Malah ada juga testimoni dari pejabat…"

Gini ya teman-teman, dunia ilmiah itu gak bisa sekedar pakai testimoni.

Anggaplah gini, "Han itu anak yang pinter". Itu testimoni dari ibu, bapak, nenek, dan guru saya. Anda-anda mau terima?...

Nggak toh?..

Harus ada parameter yang jelas, pinter itu batasnya apa. Harus ada pengujian, misalnya batas pintar itu nilai raportnya minimal 7, atau kalau kuliah minimal IPK 3.00. Kalau nilai raport saya 8.5 atau IPK saya 3.60, baru terbukti kalau "Han itu anak yang pinter"

Masalah Dr.Terawan Selanjutnya..

Karena data penelitiannya bermasalah, tentu Dr. Terawan dipanggil beberapa pihak untuk "pertanggungjawaban". Misalnya menguji secara terbuka data penelitian, metode, referensi yang bermasalah, dan lain sebagainya.

Apalagi dr.Terawan bidangnya radiologi, yaitu analisa tubuh manusia dengan teknologi pencitraan. Umumnya yang kita tahu; CT Scan, USG, MRI, atau Rontgent (ronsen). Lha penelitiannya yang stroke itu bidang neurologi yang tentang syaraf (koreksi kalau saya salah).

Ibaratnya kayak sarjana Fakultas Teknik, jurusan Teknik Tata Boga, tapi penelitian skripsinya Teknik Otomotif.

Menurut kalian gimana?..

Cuma seberapa mudah anda-anda sekalian bisa menemukan bukti berita atau video dr.Terawan hadir untuk membeberkan penelitiannya secara mendalam? Entah di Indonesia atau di forum dokter internasional?

Saya kok belum nemu yaa...?!@-#&":$+_&#

Dr.Terawan Vs IDI (Ikatan Dokter Indonésia)

Mudahnya, IDI berfungsi untuk melindungi martabat profesi dokter, serta mengembangkan IPTEK terkait kedokteran. IDI juga melindungi dokter-dokter Indonesia. Bila ada dokter yang berbicara atau meneliti, dokter itu tidak hanya membawa beban profesinya, tapi juga nama IDI.


Sekarang Kita Analisa

Kalau ada dokter anggota IDI yang penelitiannya bermasalah, melakukan percobaan yang bisa jadi ilegal, dan punya terapi atau obat yang belum terjamin keamanannya, lalu IDI melindungi atau tetap menerima dokter itu sebagai anggota IDI, kira-kira gimana?

Tentu nama, reputasi, dan tingkat kepercayaan pihak lain pada dokter-dokter lain di bawah nama IDI bisa berkurang, atau malah hilang. Hanya gara-gara satu dokter bermasalah tadi.

Dan bisa jadi, kalau masalahnya serius, pihak Universitas Hasanuddin bisa saja mencabut titel/gelar doktor yang bermasalah tadi.


Ini bukan masalah

1. Tidak cinta Indonesia
2. Tidak mendukung kreativitas anak bangsa
3. Konspirasi elit global
4. Antek anti-pemerintah

Ini masalah yang betul-betul ranah dunia ilmiah. Kecuali dr.Terawan berani membahas secara terbuka penelitiannya, menguji ulang penelitiannya, hingga terbukti bahwa dr.Terawan benar, maka IDI wajib mengembalikan statusnya sebagai anggota IDI.

Apa PASTI tidak ada unsur politik?

Bisa jadi ada. Tapi ranah politik bukan bahasan saya. Yang saya bahas HANYA dari sudut pandang Akademik/Penelitian.

Andai dr.Terawan itu seniman, maka beliau berkreasi pun kayaknya nggak masalah. Wong seni itu urusan rasa. Sama kayak orang mengagumi lukisan Monalisa, sementara orang lain nggak paham dimana bagian indahnya. Sayangnya, dr.Terawan ada di dunia yang harus membuktikan kreativitasnya terbukti aman dan tidak membahayakan nyawa manusia untuk jangka panjang.


Jadi, kenapa IDI memecat dr.Terawan?

Karena penelitian CUCI OTAK nya masih bermasalah.

Silahkan berikan pendapat kalian pada kolom komentar.

Terima Kasih..

0 Response to "KENAPA dr.Terawan DIPECAT DARI IDI?"

Post a Comment

COMMENT IN A POOR AND WISE WAY👌

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

READ THIS ARTICLE!